Menikmati Hak yang Sesungguhnya


Ada kata pepatah “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, sementara kata plesetan “ilmu itu tidak perlu dituntut karena ia tidak bersalah.” Kalau dipikir-pikir sih kedua kalimat tersebut masing-masing benar, menurut filosofinya. Menurut saya pun, ilmu memang tidak perlu dituntut, melainkan dicari. Untuk apa ilmu dicari? Toh dia bukan buronan. Ilmu memang bukan buronan, tetapi dengan ilmu kita bisa mengisi hidup kita menjadi lebih bermakna dan bertujuan.

Bayangkan saja, kita masing-masing telah diberi anugerah untuk hidup, hanya satu kesempatan dibanding berjuta-juta sperma yang kalah tarung dalam perjuangan mencapai ovum. Tidakkah hal ini bisa menjadi motivasi juga untuk mengisi hidup dengan hal berguna? Apa bedanya kita dengan sperma yang kalah itu jika kita sekarang hanya diam dan berpangku tangan menunggu nasib baik datang kepada kita. Memang, nasib baik selalu ada untuk setiap orang, tapi apakah kita akan lupa bahwa orang di dunia ini ada berjuta banyaknya? Kita hanya sepersekian bagian dari dunia dan masih menunggu nasib baik yang datang? Mau sampai kapan?

Ada lagi pepatah yang mengatakan “tidak ada kata ‘terlambat’ untuk belajar” dan menurut saya jelas itu adalah panutan saya sampai sekarang. Namun bukan berarti saya termasuk dalam orang yang hidup-untuk-belajar, saya termasuk yang sedang belajar-untuk-hidup. Salah satunya belajar dengan mengisi hidup dengan ilmu berguna. Beruntunglah kita bahwa semakin maju era teknologi, memberi kita semakin banyak ruang gerak untuk mencari ilmu.

Jika membicarakan tentang hak pemuda Indonesia memperoleh pendidikan, sebenarnya semua hak itu ada dan rata, hanya tergantung seberapa besar kesempatan kita untuk meraihnya. Misalnya saja para pelajar dan mahasiswa di kota besar. Mereka itu adalah contoh pemuda yang mendapatkan haknya untuk menjadi anak didik dengan kesempatan yang lebih besar dibanding mereka yang hidup di daerah kurang pembangunan.

Saya pernah, beberapa waktu yang lalu, menonton sebuah film dokumenter mengenai pendidikan. Mereka menyorot kehidupan di salah satu daerah pemetik teh yang mayoritas pekerjaan masyarakatnya tak lain dan tak bukan adalah pemetik teh. Di sana hanya ada satu Sekolah Dasar dan untuk kalangan masyarakat itu, pendidikan hanya diperoleh dari situ. Maka karena keterbatasan tersebut, keturunan mereka pun hanya bisa menjadi pemetik teh juga, bahkan menikah pada usia SD. Inilah yang saya maksud dengan hak yang sama, namun kesempatan yang berbeda.

Salah satu siswa SD tersebut ada yang saat diwawancarai, mengutarakan mimpinya untuk sekolah sampai SMP. Sebuah cita-cita yang rasanya bagi sebagian dari kita dianggap bukanlah cita-cita sebab akan diterima dengan sendirinya. Bayangkan rasanya apa yang telah kita peroleh dengan mudahnya adalah sebuah impian dari orang lain di tempat lain?

Beruntung kita termasuk dalam generasi muda yang menjadi bagian dari pembangunan yang sedang terjadi. Sekarang, kita bisa menjadi penikmat pembangunan, dengan mengenyam pendidikan yang telah tersedia, tapi nanti, 5-10 tahun lagi, kitalah yang akan menjadi motor penggerak pembangunan bagi generasi muda yang akan datang. Bagaimana kita bisa siap menjadi penggerak saat sebagai penikmat pun kita masih malas dalam mencari ilmu? Bahkan bisa dibilang, tak ada lagi alasan tak ada biaya saat berbagai beasiswa disediakan oleh berbagai instansi. Tak ada lagi alasan terlambat untuk memulai saat seorang kakek pun ada yang menjadi siswa SD.

Selamat mencari ilmu. Ilmu yang tidak hanya didapat dengan mendengarkan pengajar di sekolah atau kampus, tetapi ilmu yang membuat diri kita siap untuk menantang dunia. Selamat berusaha membuat Indonesia bergerak menuju perubahan, bukan hanya dengan mengoceh tentang berbagai solusi klasik dalam esai, tetapi dengan memulainya pada diri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

terima kasih dan maaf